Nia Zulkarnaen dan suaminya, Ari Sihasale mengangkat tema King dan Bulutangkis ke layar lebar. Meski banyak figur pebulutangkis nasional yang tak kalah hebat dengan Liem Swie King, namun Karisma sang legendaris yang dikenal memiliki smash “King” yang mematikan seolah tak lapuk oleh zaman. Justru karisma “King” semakin mamancar. Ini terbukti dengan di usungnya cerita King dan olah raga bulu tangkis ke layar lebar.
Menurut Nia, film berjudul ”King” yang mengambil tema olahraga bulutangkis, bertujuan untuk lebih memasyarakatkan kembali olah raga bulutangkis di Indonesia. Kita merasa bahwa bulutangkis adalah salah satu cabang olahraga kebanggaan Indonesia yang sering mengharumkan nama bangsa di kancah internasional, dimana bagi Indonesia tradisi emas di Olimpiade itu masih dihasilkan dari cabang olahraga bulutangkis.
Film ini juga dimaksudkan untuk memperkenalkan keindahan Indonesia kepada dunia internasional. Itulah sebabnya kita melakukan shooting di daerah-daerah, seperti di Kawah Ijen, Wonosobo, Bondowoso dan Situbondo, karena ini adalah sebuah film tentang olahraga bulutangkis tetapi settingnya adalah daerah, apalagi memang sebuah pertandingan bulutangkis itu tidak harus selalu dilakukan didalam ruangan.
Terinspirasi piala Thomas dan Uber
Ide untuk memproduksi film ini muncul saat kita menonton pertandingan piala Thomas dan Uber. Saat itu kita tergerak, karena selama ini film-film kita yang bertema olah raga hanya bercerita tentang sepak bola atau tinju, belum pernah ada film Indonesia yang berlatar belakang cerita tentang olah raga bulutangkis, baik ketika masa kejayaan kita dahulu yang pernah menjadi macan Asia dan dunia, hingga akhirnya kita sering kalah sekarang ini.
Film ”King” ini bukan merupakan otobiografi dari seorang Liem Swie King, melainkan sebuah inspirasi dari figur, semangat, dan kesuksesan Liem Swie King di masa kejayaannya dahulu. Dia adalah seorang pemain bulutangkis yang sangat mengidolakan dan mencintai bulutangkis, disamping juga sebagai seorang ayah yang sangat dekat dengan anak-anaknya. Dan dia berkeinginan agar anak-anaknya juga bisa berhasil menjadi kebanggaan Indonesia.
Di dalam memproduksi sebuah film, kita tetap berpegang pada visi untuk selalu menyajikan film-film yang baik dari segi cerita dan penggarapannya, yaitu film yang tidak hanya menghibur, tetapi juga bermanfaat untuk masyarakat dan bangsa Idonesia. Jadi bisa dibilang bahwa film ini adalah film edutainment. Karena pendidikan itu bisa dilakukan tidak hanya disekolah formal saja, artinya dunia hiburan juga bisa menjadi sarana pendidikan, yaitu melalui penyampaian informasi yang positif. Dan pesan yang ingin disampaikan dalam film ini adalah mengenai cinta kasih, persahabatan, kebersamaan dan semangat.
Untuk promosi dan pendistribusian film ”King” , kebetulan karena kita cukup lama di PBSI dan membantu sebagai Humas di Badminton Asia Confederation (BAC), maka kalau misalnya nanti ada meeting BAC, kita akan coba bawa film ”King” ini untuk kita tawarkan, paling tidak kepada negara-negara yang menyukai bulutangkis, sepertiKorea, Jepang, China, India, Malaysia, Hongkong, Denmark, Swedia, Inggris dan sebagainya.
”King” ini adalah film bertema bulutangkis yang pertama di dunia, itu artinya Indonesia boleh berbangga hati dalam hal ini, dan dengan demikian semoga saja IBF tergerak untuk membantu
mempromosikan film ini. KING adalah film ketiga dari Alenia Picture dan karya perdana sutradara Ari Sihasale yang juga mebuahkan film lain diantaranya Denias dan Liburan Seru. Lokasi pembuatan film selama 38 hari di tiga tempat, yaitu di Kudus, kawasan Kawah Ijen, dan Banyuwangi.
Proses Pembuatan
Hambatan utama dalam pembuatan film ”King” ini adalah medannya yang cukup berat, karena kita membuatnya di lereng-lereng gunung, apalagi dalam cuaca yang sedang musim hujan, dimana kita harus berjalan kaki selama dua jam untuk sampai ke lokasi shooting, tetapi lokasinya memang sangat indah. Kita memang sengaja tidak melakukan shooting di perkotaan atau di Jakarta, karena kita pikir sudah banyak yang tahu Jakarta dan mungkin hingga ke luar negeri. Karena itu lebih baik kita mempromosikan daerahdaerah Indonesia lainnya yang jarang tereksplor di luar, supaya lebih banyak lagi wisatawan lokal dan mancanegara yang datang ke Kawah Ijen, Wonosobo, Bondowoso dan Situbondo.
Dari segi biaya, film ini termasuk kategori lumayan mahal, karena kita menggunakan Camera 35 mm yang menggunakan film seluloid dan juga transportasi ekstra untuk mencapai lokasi shooting, itulah yang mungkin menyebabkan biayanya menjadilebih besar dibandingkan denganfilm yang menggunakan cameradigital, tetapi saya rasa itu masih standar. Memang sudah pasti film itu ada segi bisnisnya, dimana akhirnya harus ada keuntungan untuk kita gunakan sebagai modal untuk membuat film-film berikutnya. Tetapi jangan lupa bahwa film itu adalah sebuah karya seni yang juga bisa kita gunakan sebagai public relation bangsa kita kepada masyarakat internasional. Jadi walaupun memang bagus, public relation itu jangan hanya melalui taritarian, lagu, wayang, atau lukisan saja, tetapi juga melalui film. Karena film merupakan bahasa gambar yang lebih universal dan lebih mudah dimengerti, apalagi teknologinya juga memang sudah cukup canggih, sehingga dengan demikian masyarakat Indonesia dan juga internasional bias terbuka matanya untuk melihat Indonesia secara lebih utuh.
Apalagi belakangan ini banyak image jelek yang kita dengar diluar, dimana mungkin orangorang diluar hanya sekedar melihat potongan-potongan berita di TV. Karena itu dengan mereka menonton film-film kita yang bagus, yang juga menampilkan tentang budaya dan keindahan alam kita, mereka bisa mengetahui bahwa ternyata Indonesia itu indah, Indonesia tidak cuma Bali atau Lombok tetapi juga ada Papua dan sebagainya, bahwa ternyata orang Indonesia itu ramah dan baik.
Sebagai pekerja seni, kami percaya bahwa banyak pesan-pesan positif yang bias disampaikan melalui film tanpa terkesan menggurui. Anak-anak kita sekarang sudah maju dan tidak senang kalau hanya dituntut tidak boleh begini dan begitu tanpa alasan yang kuat dan tepat, jadi tidak cukup kalau hanya melalui kegiatan seminar dan sejenisnya. Melalui film, mereka seperti sedang menonton hiburan, padahal disitu kita juga sedang menyampaikan pesan bahwa kalau ingin sukses, mereka harus punya cita-cita, sekolah dengan sungguh-sungguh dan kerja keras.
Sebagai cineas kita juga sering diundang oleh kedutaan-kedutaan untuk pemberian beasiswa S2, dimana sudah ada 5 orang cineas dari Indonesia yang mendapatkan beasiswa tersebut. Kita juga\ menyelenggarakan pekan film Indonesia di KBRI-KBRI, dimana ada peserta yang mengira bahwa film-film kita itu lokasi shootingnya di Afrika dan New Zealand, padahal itu di Papua, di Indonesia. Jadi kita perlu memberikan penjelasan kepada mereka, bahwa keindahan alam Indonesia itu tidak kalah dengan negaranegara lain, Indonesia memiliki banyak sekali daerah-daerah dengan pemandangan yang indah luar biasa.
Add Comment