Prof. Dr. Hikmahanto Juwana
Dekan Fakultas Hukum UI
Pada masa lampau, hukum internasional merupakan mainan para elit, namun bukan elit politik, melainkan kalangan elit di Departemen Luar Negeri (Deplu). Tetapi setelah 1998, hukum internasional bukan lagi mainannya Deplu, tetapi juga sudah menyentuh berbagai aspek kehidupan dari kita semua, terutama para penegak hukum seperti polisi, jaksa dan lain sebagainya.
Kalau kita lihat di media, bagaimana Maria Sumampau yang akan diekstradisi ke Indonesia namun tiba-tiba sudah menjadi warga negara Yordania, lalu bagaimana permasalahan ini, apakan POLRI bisa mengekstradisi atau tidak. Kemudian juga kasus terorisme Hambali, perlu atau tidak kita meminta Hambali untuk dikirim dan diadili di Indonesia, atau apakah dia memang bisa diadili di AS dan sebagainya. Belum lagi belakangan masalah Umar El Beshir, Presiden Sudan yang akan ditangkap oleh ICC karena ada perintah penangkapan.
Pertanyaannya adalah mengapa hal ini kita bicarakan apakah ada relevansinya dengan Indonesia ?. Menurut saya hal ini justeru sangat relevan karena kita belum meratifikasi ICC, jangan-jangan dia bisa membuat perintah penangkapan seperti itu kepada siapa saja. Pertanyaan saya adalah mengapa para pejabat tinggi Israel yang melakukan penyerangan ke Gaza atau para mantan pejabat AS yang melakukan penyerangan terhadap Irak itu tidak dipanggil oleh ICC.
Seharusnya ICC tidak membuat peraturan semacam itu, dimana kalau kepada mereka yang kuat kita tidak bisa berbuat apa-apa, tetapi kalau kepada yang lemah kita setuju saja. Karena itulah disini saya mengatakan perlunya reorientasi pendidikan dan sarana pendukung. Bahwa selama ini tanpa kita sadari kita praktis membaca textbook-textbook luar negeri yang ditulis oleh penulis-penulis asing, jadi tidak heran kalau para mahasiswa mengatakan bahwa hukum internasional itu adalah sesuatu yang mengawang-awang. Bagaimana tidak, karena mereka itu tidak dekat dan tidak berinteraksi bahkan merasa asing.
Oleh karena itu saya menawarkan kepada kita semua, bahwa kita perlu mempunyai perspektif Indonesia, kita harus membumikan hukum internasional dalam konteks Indonesia dan memaksimalkan hukum internasional bagi kepentingan Indonesia. Rekan-rekan saya dari UI tahu betul kalau di UI dan dimana-mana saya dianggap sebagai Guru Besar Hukum Internasional perspektif negara berkembang, tetapi saya bangga karena negara berkembang memang harus disuarakan.
Dalam pidato pengukuhan guru besar, saya mengatakan bahwa hukum internasional itu terlalu Eropa centris dan negara maju centris, inilah yang kemudian harus kita rubah. Prof. Dr. Mochtar Kusuma Atmadja sudah membuktikan bahwa kita berhasil memperjuangkan konsep negara kepulauan didalam forum internasional dan diterima dalam UNCLOS.
Apa yang diperjuangkan oleh para founding father kita, termasuk juga oleh Nugroho Wisnumurti di Komisi Hukum Internasional PBB, ini sesuatu yang luar biasa meskipun kita sebagai negara berkembang. Karena itu didalam sebuah tulisan saya menyarankan bahwa mungkin seluruh pengajar dan pendidik untuk selalu bisa menyelipkan contoh-contoh Indonesia didalam setiap topik yang berkaitan dengan hukum internasional, itu harus kita relevansikan supaya para mahasiswa mengerti. Dan ini tidak hanya bagi mahasiswa hukum internasional, tetapi juga mahasiswa hukum secara umum, sebab kalau nanti mereka menjadi hakim, jaksa, pengacara dan apapun nantinya mereka akan bersentuhan dengan hukum internasional, jadi ini tidak hanya bagi mereka yang ingin bekerja di Deplu saja.
Kedua, para dosen harus bisa menghadirkan perspektif Indonesia, perspektif negara berkembang dalam setiap topik. Jangan hanya mengajarkan begitu saja kepada para mahasiswa, karena yang terjadi adalah melanggengkan pemikiran-pemikiran dari barat. Ini bukan berarti saya anti terhadap pemikiran barat, melainkan untuk mengetahui dan mengungguli pemikiran barat, tentunya kita harus mempelajari, tetapi kemudian kita harus mempunyai konsep sendiri tentang perspektif negara berkembang itu seperti apa.
Saya percaya kita bisa merubah perspektif ini karena kita belajar hukum. Pangeran Diponegoro itu sebagai pahlawan atau pemberontak, itu tergantung perspektif mana yang mau diambil, dari perspektif Indonesia dia adalah pahlawan, tetapi dari perspektif Belanda dia itu pemberontak, tinggal sekarang bagaimana argumentasinya.
Ketiga, perlu dilakukan oleh para pakar hukum dan pendidik, adalah bagaimana kita bisa membuat topik-topik internasional yang ada di masyarakat itu dalam bahasa yang popular dan kemudian dimasukkan dalam laporan media dan sebagainya, sehingga masyarakat kita tercerahkan dan tidak mengatakan bahwa hukum internasional itu hanya khusus untuk mereka-mereka saja, eksklusif dan sebagainya.
Ke-empat, kita bisa membuat jurnal-jurnal hukum internasional yang bergengsi dan berkala. Oleh karena itu kita perlu menggarap ini tetapi dalam perspektif Indonesia, karena merupakan tanggung jawab moral kita. Jadi jangan cuma menduplikat apa yang ada di luar negeri lalu kita terjemahkan kedalam bahasa Indonesia kemudian selesai.
Kelima, komunitas hukum internasional dapat membentuk apa yang disebut sebagai Indonesian Society of International Law yang merupakan tempat bertemunya para akademisi dan praktisi Indonesia untuk membicarakan tentang hukum internasional. Sebenarnya kita sudah membentuk ini tetapi sebatas untuk menyelenggarakan kompetisi peradilan semu, dan sampai saat ini belum dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih besar.
Keenam, kita harus mendorong mahasiswa untuk mengikuti pertandingan peradilan semu internasional, karena dengan demikian seolah-olah kita berada didepan ICC, IPG, ITC, didepan suatu forum internasional. Hal itu penting karena mahasiswa kita harus melihat bagaimana mahasiswa dari negara lain, bagaimana mereka melakukan riset dengan luar biasa.[]
Add Comment