Juli 2009

Mengenang Mohammad Roem : Pejuang Diplomasi Sudah Selayaknya Mendapat Penghargaan

Taufik Abdullah

“Kalau melihat sejarah diplomasi di masa erang kemerdekaandan revolusi nasional,maka harus kita akuiperan penting yangpernah dijalankan’tiga diplomat utama’. Syahrir yang memulai semuanya, Hatta yangmeletakkan dasarorthodoksi politikluar negeri ’bebasdan aktif’, dan Roemyang senantiasamemainkan peranpenting ketika konflikdisalurkan lewat diplomasi. Disamping mereka bertiga, tentu juga bias disebut Haji Agus Salim yang berhasil mendatangkan simpati negara-negara Arab pada RI.”

Ketika Mohammad Roem mengikuti Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda tahun 1949, saat itu ia menjabat sebagai Wakil Ketua Delegasi RI. Ada kejadian menarik ketika untuk sesuatu keperluan, pak Roem naik taksi. Oleh karena pak Roem adalah seorang yang ramah, maka terjadilah percakapan santai dengan sopir taksi. Ketika sopir taksi itu mengetahui nama pak Roem, seketika itu juga si sopir menyapanya dengan ”Excellency Roem”. Tentu saja perubahan sapaan ini mengherankan pak Roem, dan beliau menanyakan kepada si sopir kenapa dia tiba-tiba mendapat sapaan kehormatan, dan si sopir mengatakan bahwa dikalangan sopir Belanda telah muncul sebuah pandangan bersama yang mengatakan ”Die Roem is pinter. Hij heeft van Roijen klein gekregen”. Dia telah mengalahkan van Roijen. Tetapi pak Roem tidak memperlihatkan rasa gembiranya, dan mengatakan bahwa di Yogya ceritanya berbeda, disana dia dikatakan ”Die is de beroemde van Roijen endeze is de berooideRoem”. Inilah Roem yang telah kena kibul.

Apakah yang terjadi, sehingga masing-masing pihak merasa bahwa negara mereka adalah pihak yang kalah. Mungkin si sopir taksi benar, bahwa van Roijen telah dikalahkan oleh Roem. Kalangan konservatif Belanda menganggap bahwa Roem telah menang dalam perundingan yang menegangkan dengan van Roijen. Bagaimana pembalikan situasi ini bisa terjadi, padahal ketika pertemuan Roem-Roijen dilaksanakan, Yogyakarta dan kota-kota RI yang lain telah diduduki Belanda. Dan sebagian besar para pemimpin RI, mulai dari Presiden dan Wakil Presiden yang merangkap sebagai Perdana Menteri, beberapa menteri, bahkan termasuk Roem sendiri, telah berada dalam tahanan Belanda.

Agresi kedua Belanda yang dilancarkan pada tanggal 19 Desember 1948, disebut sebagai “aksi polisionil”, yaitu penamaan yang seakan-akan mengatakan bahwa RI hanya terdiri atas kumpulan para pemberontak saja. Keberhasilan Belanda melancarkan serangan di saat pertukaran nota antara RI dan Belanda di bawah pengawasan United Nations Committe on Indonesia masih berlangsung, memang bisa memberi kesan bahwa umur RI telah berakhir. Konon Jenderal Spoor, panglimapasukan Belanda, sempat berbangga dan mengatakan bahwa RI sudah tidak ada lagi.

Tetapi ketika perundingan Roem-Roijen selesai, kesan bahwa Belanda telah dirugikan memang tidak terelakkan. Yogya harus ’kembali’ ke pangkuan RI, dan para pemimpin RI harus dibebaskan, sementara jalan ke arah diadakannya KMB pun telah terbuka lebar. Jadi yang terjadi bukan sekedar kembali ke situasi sebelum agresi dilancarkan, tetapi juga keharusan dari pengakhiran konflik telah pula dipastikan.

Masalahnya, sebelum perundingan Roem-Roijen itu berlangsung, berbagai rencana telah disusun secara matang oleh Dr. Beel, mantan Perdana Menteri Belanda yang diangkat sebagai Wakil Tertinggi Ratu Belanda, setelah van Mook meletakkan jabatan. Dia telah membayangkan ketika pelaksanaan resolusi PBB yang menghendaki penghentian permusuhan dilaksanakan dengan baik, Republik Indonesia Serikat (RIS) bisa didirikan tanpa keikutsertaan RI. Berbagai usaha telah dilakukan Beel untuk menyingkirkan RI dari masa depan Indonesia. RI yang berpusat di Yogya ini akan dibiarkan menggapai-gapai dalam ketidakpastian masa depan dengan daerah yang telah terpenggal-penggal. Waktu itu Sumatera, Jawa dan Madura yang sempat diakui sebagai wilayah de facto, telah pula terpecah-pecah. Bayangkan bagaimana jadinya dengan RI yang mungkin hanya akan terdiri dari Aceh, Sumatera Tengah, dan Yogyakarta saja.

Rencana Dr. Beel gagal total sebelum bisa dipaksakan, karena sayap BFO (Permusyawaratan Negara-negara Federal ciptaan Belanda) yang dipimpin oleh Anak Agung Gede Agung, yang pro Republik, bersama-sama dengan Perdana Menteri NIT (antara lain didukung oleh Perdana Menteri Negara Pasundan), berhasil mengungguli kelompok pimpinan Sultan Hamid II yang pro rencana Dr.Beel. Sayap BFO dan kawan-kawannya sama sekali tidak menginginkan perpecahan Indonesia, karena bagi mereka masa depan adalah menjadi milik keseluruhan wilayah yang dulu disebut sebagai Hindia Belanda dalam kesadaran kebangsaan yang dinamakan kepulauanIndonesia.

Sikap tersebut sejalan dengan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menghendaki penghentianpermusuhan, pengembalian Yogyakarta dan pembebasan para pejabat RI, serta diselenggarakannya KMB sebagai sarana ke arah pengakuan kedaulatan Indonesia tanpa masa transisi. Jadi terlepas dari suasana internasional yang mendukung posisi RI, golongan konservatif Belanda dan juga pandangan umum masyarakat awam Belanda, menganggap bahwa Roijen telah kalah. Tetapi Roem sama sekali tidak bangga, dan dengan jujur mengatakan hal yang sebenarnya, yaitu bahwa dia sendiri juga diejek di Yogyakarta. Masalahnya bukan sekedar terletak pada tidak adanya apa yang disebut sebagai ‘persetujuan’ atau agreement setelah sebuah perundingan berakhir, dan juga bukan pada isi pernyataan masing-masing ketua delegasi, melainkan pada perdebatan di kalangan RI sendiri, yaitu apakah Roem, yang diangkat oleh Soekarno-Hatta, berhak secara konstitusional melakukan perundingan.

Sejak perundingan Linggarjati sampai Belanda melancarkan agresi keduanya, Roem bias dikatakan sebagai ’pemain abadi’ dalam upaya diplomasi. Sejak awal ia bukan saja harus beradu argumen dengan kekuatan asing, tetapi juga terlibat dalam perdebatan tentang strategi menghadapi kekuatan asing tersebut. Inilah salah satu kekuatan pak Roem, ia menghadapi musuh dan sekaligus harus meyakinkan kawan tentang langkah-langkah yang harus ditempuh dalam usaha mencapai kemerdekaan 100%.

’Kemenangan awal’ yang secara formal dipatrikan oleh Roem kemudian berlanjut, karena sesudah itu dilakukan Konferensi Inter Indonesia sebanyak dua kali yang dihadiri oleh wakil RI dan BFO sebagai upaya menempatkan posisi untuk berada satu front dalam menghadapi Belanda di KMB. Rasa persatuan Indonesia dikokohkan kembali, walau apapun nanti corak konstelasi dan dinamika politik yang akan dijalani dalam negara yang telah berdaulat.

Pada tanggal 27 Desember 1949 di Amsterdam Ratu Juliana secara resmi ‘menyerahkan’ kedaulatan Indonesia kepada Perdana Menteri RIS, Mohammad Hatta. Saat itu secara resmi Belanda mengakhiri kekuasaannya di Indonesia, kecuali Irian Barat yang masih disengketakan, dan Indonesia telah menjadi tuan rumah di negeri sendiri tanpa ada satu negara lainpun yang bias menggugat legitimasinya. Tetapi peristiwa ini biasa dilupakan saja, dan Roem kemudian berkomentar ”kiranya tidak semua yang penting perlu dirayakan, dan tidak semua yang dirayakan mesti penting”.

Ketika pengalaman masa lalu diceritakan, maka bukan saja renungan atas semuanya yang bisa dilakukan, melainkan juga penilaian subyektif atas peristiwa dan aktor yang bermain didalamnya. Kalau melihat sejarah diplomasi di masa perang kemerdekaan dan revolusi nasional, maka harus kita akui peran penting yang pernah dijalankan ’tiga diplomat utama’. Syahrir yang memulai semuanya,Hatta yang meletakkan dasarorthodoksi politik luar negeri ’bebas dan aktif’, dan Roem yang senantiasa memainkan peran penting ketika konflik disalurkan lewat diplomasi. Disampingmereka bertiga, tentu juga bias disebut Haji Agus Salim yang berhasil mendatangkan simpatinegara-negara Arab pada RI.

Tetapi gambaran yang didapatkan di era Orde Baru, Roem hanya diingat sebagai tokoh Masyumi, Syahrir sebagai’pahlawan’ setelah teraniaya, dan Hatta sebagai ’hati nurani bangsa’ yang tetap dibiarkan dalam kesendirian. Sedangkan Haji Agus Salim hanya disebut ketika peristiwa yang dilakoninya sempat teringat. Perjuangan bersenjata adalah pengabdian untuk mendapatkanpenyelesaian dendam masa lalu dan ketidakadilan masa kini, sedangkan diplomasi adalah usaha untuk merintis masa depan yang dicita-citakan. Hanya dalam situasi diplomasi, kesetaraan harkat diri masing-masing bias dijadikan sebagai landasan utama. Tanpa adanya suasana ini, diplomasi telah berakhir sebelum dimulai. Karena itu semestinya negara memberi penghargaan yang setimpal bagi para pejuang di bidang diplomasi, yaitu mereka yang berjuang mendapatkan hak dalam suasana yang menghargai kesetaraan harkat negara masingmasing.

About the author

admin

Add Comment

Click here to post a comment

Don`t copy text!