Juli 2009

Mengenang Seratus Tahun Mohammad Roem Kontribusi Islam Dan Demokrasi Dalam Membangun Indonesia


Wawancara dengan Menlu RI

“Dalam perundingan Roem-Rooyen, Mohammad Roem memikul tanggung jawab berat, karena beliau harus mempertahankan wilayah RI agar tidak lebih sempit lagi.”

Kemerdekaan kita harus diperjuangkan secara fisik melawan penjajah yang ingin kembali menguasai dan menduduki Indonesia. Tetapi perjuangan diplomasi juga tidak kalah pentingnya, termasukperjuangan memperoleh pengakuan (recognition) atas Republik Indonesia. Karena ituperjuangan fisik dan diplomasi seperti dua sisi dari satu mata uang.

Namun, dalam sejarah kita sisi diplomasi kurang mendapattempat. Banyak monument didirikan untuk mengenang perjuangan fisik, namun peran para tokoh pejuang diplomasi kurang dikenal dan diakui. Diplomasi bahkan sering dikontraskan dengan perjuangan fisik dimana diplomasi pada masa awal Republik terkadang dipandang sebagai kapitulasi.

Mohammad Roem selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk menegakkan kemerdekaan Indonesia melalui jalur diplomasi. Mohammad Roem adalah anggota delegasi RI dalam perundingan Linggarjati pada tahun 1947 dan perundingan Renville pada Januari 1948. Selanjutnya Mohammad Roem bertindak sebagai ketua delegasi RI dalam perundingan Roem- Rooyen pada tanggal 7 Mei 1949. perundingan Roem-Rooyen tersebut telah membuka jalan bagi diselenggarakannya Konferensi Meja Bundar dan selanjutnya pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda pada Desember 1949.

Dalam perundingan Roem- Rooyen, Mohammad Roem memikul tanggung jawab berat, karena beliau harus mempertahankan wilayah RI agar tidak lebih sempit lagi. Terdapat perbedaan pendapat mengenai Pemerintah Federal Sementara, karena Belanda berpendapat bahwa pemerintah harus dipimpin oleh pejabat-pejabat dari Kerajaan Belanda. Sedangkan RI berpendirian bahwa Pemerintah Federal Sementara harus bersifat nasional, sehingga harus terdiri dari orang-orang Indonesia saja.

Mohammad Roem juga memperjuangkan hak-hak Indonesia untuk mempertahankan hubungan luar negeri RI dengan negara-negara lain. Hubungan luar negeri inilah yang sangat diperlukan Indonesia dalam menggalang dukungan dari berbagai negara terhadap kemerdekaan Indonesia. Memang benar bahwa dengan proklamasi kemerdekaan, maka Indonesia sebagai negara merdeka telah memenuhi syarat adanya wilayah, pemerintahan dan rakyat. Namun tidak kalah pentingnya adalah syarat kemampuan melakukan hubungan dengan negara-negara lain, yang tentunya menuntut adanya pengakuan dari negara-negara lain.

Dengan kata lain, persyaratan lahirnya sebuah negara telah kita penuhi, kecuali masalah pengakuan (recognition) yang memang harus kita perjuangkan. Ini adalah misi diplomasi pada masa awal kemerdekaan, yaitu periode 1945-1950. Lima tahun pertama yang saya sebut sebagaithe formative years atau masa pembentukan karakter politik luar negeri bebas aktif.

Tugas itu sangat tidak mudah, sebab menurut hokum internasional yang berlaku pada waktu itu, kemerdekaan hanya mungkin apabila ada kesepakatan atau by agreement dari negarapenjajahnya. Oleh karena itu yangkita hadapi sebenarnya bukan hanya Belanda, tetapi juga hukuminternasional yang memang tidakmemberikan peluang bagi bangsayang terjajah untuk merdeka.

Dalam konteks itu, maka di dalam negeri upaya diplomasi menjadi sangat controversial karena diartikan sebagai kapitulasi, dalam arti menyerah pada tekanan Belanda untuk menerima Republik dalam batasan wilayah yang ditentukan yang dalam rancangan UUD 1945 dimaksudkan seluruh wilayah Hindia Belanda. Tetapi kalau kita melihat proses diplomasi secara utuh, apa yang dilakukan Mohammad Roem dengan menandatangani perjanjian Roem-Rooyen adalah sebagai taktik untuk memperjuangkan pengakuan internasional terhadap Republik beserta wilayah yang kita kenal sekarang ini. Mohammad Roem juga gigih memperjuangkan kembalinya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta dari pengasingan ke Yogyakarta, dengan maksud agar kembalinya pemerintah RI yang dapat mengontrol wilayah RI yang secara de facto tertera dalam Persetujuan Linggarjati. Dengan demikian, meskipun wilayahnya hanya meliputi sebagian dari Republik Indonesia, pemerintah sudah dapat membuat paspor yang berlaku internasional. Paspor Republik itu menjadi penting karena memudahkan perjalanan para pejuang Republik kita untuk melakukan lobi dengan negara lain. Oleh karena itu, kegigihan Mohammad Roem dalam mempertahankan hak-hak Indonesia untuk dapat berhubungan dengan luar negeri patut kita hargai dan teladani.

Mohammad Roem sebagai tokoh Islam tidak mengurangi nasionalisme beliau dan dikenal sebagai sosok yang toleran. Sebagai pribadi Muslim sejati, Mohammad Roem menjalin persahabatan dengan berbagai golongan, antara lain dengan Ignatius Josef Kasimo dan Petrus Kanisius Ojong yang beragama Katolik, dengan TB Simatupang dan Leimena dari agama Protestan, selain itu juga dengan Syahrir, Anak Agung, serta Soebadio yang mendalami nilai-nilai sosialis.

Saya sendiri merasa beruntung karena sempat berkenalan dan bertukar fikiran dengan Pak Roem. Hal ini terjadi ketika saya bertugas sebagai diplomat junior saat penugasan pertama saya di Kairo, Mesir. Beliau saat itu mengunjungi anak menantu beliau yang tengah bertugas disana. Menantu Pak Roem itu adalah kolega dan kawan baik saya, yaitu ayah dari Mas Dimas Meidyatama.

Dari interaksi dengan Pak Roem waktu itu, setidaknya ada dua hal yang sangat berkesan bagi saya, yaitu pertama, kerendahan hati beliau. Hal ini terbukti pada kesempatan saya dan Sdr. Eddi Suryodiningrat bersama keluarga melakukan perjalanan darat ke Port Said, suatu daerah bebas bea (custom free zone). Ketika saya dan Sdr. Eddi sedang menyelesaikan surat pembebasan bea, Bapak Mohammad Roem yang sedang menunggu diluar, didatangi seorang polisi Mesir yang menanyakan banyak hal, seperti dari mana asal beliau, apakah beliau Muslim atau bukan, dan diminta membuktikan bahwa beliau memang benar seorang Muslim. Bisa kita bayangkan seorang Mohammad Roem, yang merupakan tokoh nasional dan pemimpin Masyumi dengan rendah hati melayani pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan sabar.

Yang kedua adalah bahwa beliau memiliki kebesaran hati. Saya sendiri pernah menanyakan kepada beliau apakah belaiu merasa sakit hati saat dipenjarakan oleh Presiden Soekarno. Jawaban beliau waktu itu adalah bahwa di dalam politik, menang atau kalah merupakan hal yang biasa. Dan saat itu, Presiden Soekarno menjadipemenang dan Mohammad Roem sebagai pihak yang kalah, dan bersama Syahrir dijebloskan ke penjara. Beliau mengatakan bahwa dengan besar hati beliau menerima resiko tersebut dan sama sekali tidak mendendam kepada Soekarno.

Saya mengagumi kebesaran hati para pemimpin Indonesia pada waktu itu : mereka boleh berbeda pandangan politik, yang bisa jadi sangat tajam, tetapi tidak mencegah mereka memelihara hubungan antar pribadi yang tetap baik. Pak Roem bahkan memelihara hubungan yang sangat baik dengan lawan negosiasinya, Van Rooyen, pada waktu dan sesudah perundingan perjanjian KMB.

Saya kira, kita semua merindukan sosok pemimpin Indonesia yang memiliki kedua karakter tersebut, kerendahan hati sekaligus kebesaran hati.
Hari ini, tepat 101 tahun dan satu bulan yang lalu Mohammad Roem lahir di bumi Indonesia. Semasa hidupnya banyak pemikiran dan langkah beliau yang patut diketahui oleh generasi muda. Annual Lecture ini terkait dengan betapa Mohammad Roem menjunjung tinggi persamaan derajat antara semua kalangan. Nilai-nilai inilah yang harus kita gali dalam tema Annual Lecture kali ini, yaitu ”Islam dan Demokrasi dalam Membangun Indonesia”.

About the author

admin

Add Comment

Click here to post a comment

Don`t copy text!